Teori Maqashid al-Syariyah

Posted by Unknown On Tuesday 8 November 2011 0 comments


I.                   PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hokum islam atau Maqashid al-tasyri’  merupakan pembahasan penting dalam hokum islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta pakar hokum islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqih, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas dalam “Filsafat Hukum Islam”.

II.                PEMBAHASAN
Bila diteliti semua suruhan dan larangan allah dalam al-Qur’an, begitu pula suruhan dan larangan nabi dalam sunah yang terumuskan dalam fiqih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia[1], sebagai mana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Anbiya(21): 107, tentang tujuan nabi Muhammad diutus:


“Tidakalah maksud kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam”

Tujuan Syar’i dalam mensyari’atkan ketentuan-ketentuan hokum kepada orang-orang mukalap adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik dalam ketentuan-ketentuan hokum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka, maupun ketentuan hokum yang memberi peluang bagi mukalaf untuk memperoleh kemudahan kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri.
Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan kepada Mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuan-ketentuan dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu Agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.[2]

  1. memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Unntuk menegakan agama, manusia disuruh beriman kepada allah, Rasul, kitab suci , malaikat, hari akhir, mengucapkan dua kalimah syahadat, serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, syara’ menyuruh manusia untuk berjihad dijalan Allah sebagai mana banyak ditegaskandalam al-Quran yang diantaranya pada surat al-Taubah(9): 41:
“Berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu dijalan allah”
Disamping itu syari melarang manusia berbuat sesuatu yang dapat menghikangkan agama. Karna itu allah mengharamkan murtad sebagaimana firmannya dalam surat al-Baqarah(2): 217:
Barang siapa yang murtad diantaramu dari agamanya kemudian ia mati dalam kekafiran, mereka itulah yang dihapus amalannya didunia dan akherat”
Sehubungan dengan itu syar’I menyuruh memerangi orang yang tidak beriman, sebagaimana firmannya dalam surat al-Taubah(9): 29:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada allah dan hari akhir”

  1. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia manusia harus melakukan banyak hal. Manusia juga perlu berupaya demgam melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala usaha yang yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya diperintahkan syar’I untuk melakukannya, dan sebaliknya suatu yang dapat merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang syar’i. dalam hal ini allah dilarang membunuh tanpa hak, sebagai mana FirmanNya dalam surat al-An’am(6): 151:
“Janganlah kamu melakukan pembunuhan tehadap diri yang diharamkan allah kecuali secara hak”
begitu pula syar’I melarang menjatuhkan diri kepada kebinasaan sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Bakarah(2): 195:
“Janganlah kamu menimpahkan dirimu kepada kerusakan”
Sebagai ancaman terhadap pembunuhan itu syar’I menetapkan hukuman qishas sebagai mana pirman-Nya:
“Allah telah menet apkan atasmu hukuman qishash karena pembunuhan” (al-Baqarah: 178)

  1. Memelihara Akal (Hifzh “Aql)
Untuk memelihara akal yang diciptakan allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang diperintahkan syar’i. dalam hal ini manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda nabi:
menuntut ilmu itu wajib atas orang yang beriman”
Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada pengrusakan akal adalah perbuatan yang dilarang syara. Dalam hal ini allah mengharamkan meminum minuman memabukan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal.
  1. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl).
Untuk kelangsungan hidup manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang jelas. Untuk maksud itu allah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara syah adalah baik. Dalam hal ini allah mensyari’atkan kawin dan berketurunan, sebagai mana firmannya:
Kawinlah orang-orang yang membujang diantaramu dan orang-orang baik diantara hambamu”(al-Nur: 32)
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan keturunan yang syah adalah perbuatan yang salah, oleh karma itu nabi sangat melarang sikap Tabattul karma mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan social, mengaburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana firman allah:
“Janganlah kamu dekati perbuatan jina, karena ia adalah perbuatan keji”(al- Isra: 32)
Selanjutnya allah menentukan sangsi bagi penjina:
penzina laki-laki dan perempuan cambuklah masing-masingnya 100 kali”(al-Nur: 3)

  1. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal).
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minuman dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan baik. Segala usaha yang mengarah pada pencaarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang diperintahkan oleh syara, banyak firman allah yang menyuruh manusia mencari rezki, diantaranya:
“Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebaranlah dimuka bumi dan carilah rezeki dari allah”(al-Jumu’ah: 10)
Segala usaha uyang mengarah pada peniadaan atau pengrusakan harta, adalah perbuatan buruk dan dilarang. Dalam hal ini syara melarang pencurian, dan sangsi bagi pencuri adalah dengan potongan tangan sebagaimana firmannya;
“Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya”.
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hokum yang mutlak haarus dicapai.o.eh karena itu seruan –seruan syara dalam hal ini bersifat mutlaq dan pasti, serta hokum syara yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah wajib atau fardu. Sebaliknya larangan yang berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak, hokum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati.

III.             PENUTUP.
Syariat islamiyah adalah syariat ketuhanan, allah yang maha mengetahui persoalan hambanya yang membentuk syariat tersebut. Ia mengetahui segala hal yang batin sebagai mana ia mengetahui yang lahir. Ia meletakan sesuatu pada tempatnya , mengetahui obat yang dijadikanNya dan tak mungkin tersalah dalam penetapan-penetapanNya.[3]


Kebutuhan tingkat primer atau dalam ushul fiqih disebut tingkatan dharuri adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut.  lima hal yang harus dijaga yang ada pada manusia sebagai cirri atau kelengkapan kehidupan manusia.


[1] Prof. Dr. H. Amir syaripuddin, Ushul Fiqih, Logos, Jakarta, 2005, Hal.207.
[2] Drs. Dede Rosyada, hokum islam dan pranata social, Rajawali pres, Jakarta, 1996, Hal.29.
[3] H.M. Nur Asyik, Asas-asas hokum islam, Rakan offset, Jakarta, 1985, Hal.33.

0 comments:

Post a Comment