I.
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hokum islam atau Maqashid
al-tasyri’ merupakan pembahasan
penting dalam hokum islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta pakar
hokum islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqih, dan ulama
lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas dalam “Filsafat
Hukum Islam”.
II.
PEMBAHASAN
Bila diteliti semua suruhan dan larangan allah dalam al-Qur’an, begitu
pula suruhan dan larangan nabi dalam sunah yang terumuskan dalam fiqih, akan
terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia.
Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia[1], sebagai
mana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat
al-Anbiya(21): 107, tentang tujuan nabi Muhammad diutus:
“Tidakalah maksud kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh
alam”
Tujuan Syar’i dalam mensyari’atkan ketentuan-ketentuan hokum kepada
orang-orang mukalap adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi
kehidupan mereka, baik dalam ketentuan-ketentuan hokum yang dapat memelihara
kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka,
maupun ketentuan hokum yang memberi peluang bagi mukalaf untuk memperoleh
kemudahan kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan
ketentuan-ketentuan dharuri.
Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan
dihadapkan kepada Mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuan-ketentuan
dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu Agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan.[2]
- memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Unntuk menegakan agama, manusia disuruh beriman kepada allah, Rasul,
kitab suci , malaikat, hari akhir, mengucapkan dua kalimah syahadat, serta
melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, syara’ menyuruh
manusia untuk berjihad dijalan Allah sebagai mana banyak ditegaskandalam al-Quran
yang diantaranya pada surat al-Taubah(9): 41:
“Berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu dijalan allah”
Disamping itu syari melarang manusia berbuat sesuatu yang dapat
menghikangkan agama. Karna itu allah mengharamkan murtad sebagaimana firmannya
dalam surat al-Baqarah(2): 217:
“Barang siapa yang murtad diantaramu dari agamanya kemudian ia mati
dalam kekafiran, mereka itulah yang dihapus amalannya didunia dan akherat”
Sehubungan dengan itu syar’I menyuruh memerangi orang yang tidak beriman,
sebagaimana firmannya dalam surat al-Taubah(9): 29:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada allah dan hari
akhir”
- Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi
kehidupan, manusia manusia harus melakukan banyak hal. Manusia juga perlu
berupaya demgam melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan
kualitas hidup. Segala usaha yang yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu
adalah perbuatan baik, karenanya diperintahkan syar’I untuk melakukannya, dan
sebaliknya suatu yang dapat merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang
syar’i. dalam hal ini allah dilarang membunuh tanpa hak, sebagai mana FirmanNya
dalam surat al-An’am(6): 151:
“Janganlah kamu melakukan pembunuhan tehadap diri yang diharamkan
allah kecuali secara hak”
begitu pula syar’I melarang menjatuhkan diri kepada kebinasaan
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Bakarah(2): 195:
“Janganlah kamu menimpahkan dirimu kepada kerusakan”
Sebagai ancaman terhadap pembunuhan itu syar’I menetapkan hukuman qishas sebagai
mana pirman-Nya:
“Allah telah menet apkan atasmu hukuman qishash karena pembunuhan”
(al-Baqarah: 178)
- Memelihara Akal (Hifzh “Aql)
Untuk memelihara akal yang diciptakan allah khusus bagi manusia,
diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan
kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan
baik yang diperintahkan syar’i. dalam hal ini manusia diperintahkan menuntut
ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana
sabda nabi:
“menuntut ilmu itu wajib atas orang yang beriman”
Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan atau
merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada pengrusakan akal adalah
perbuatan yang dilarang syara. Dalam hal ini allah mengharamkan meminum minuman
memabukan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal.
- Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl).
Untuk kelangsungan hidup manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang
jelas. Untuk maksud itu allah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat yang
mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara syah
adalah baik. Dalam hal ini allah mensyari’atkan kawin dan berketurunan, sebagai
mana firmannya:
“Kawinlah
orang-orang yang membujang diantaramu dan orang-orang baik diantara hambamu”(al-Nur:
32)
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan keturunan yang
syah adalah perbuatan yang salah, oleh karma itu nabi sangat melarang sikap Tabattul
karma mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang
dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan social, mengaburkan
nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana firman allah:
“Janganlah
kamu dekati perbuatan jina, karena ia adalah perbuatan keji”(al- Isra: 32)
Selanjutnya
allah menentukan sangsi bagi penjina:
“penzina
laki-laki dan perempuan cambuklah masing-masingnya 100 kali”(al-Nur: 3)
- Memelihara Harta (Hifzh al-Mal).
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minuman dan pakaian. Untuk itu
diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan
baik. Segala usaha yang mengarah pada pencaarian harta yang halal dan baik
adalah perbuatan baik yang diperintahkan oleh syara, banyak firman allah yang
menyuruh manusia mencari rezki, diantaranya:
“Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebaranlah dimuka bumi dan
carilah rezeki dari allah”(al-Jumu’ah: 10)
Segala usaha uyang mengarah pada peniadaan atau pengrusakan harta, adalah
perbuatan buruk dan dilarang. Dalam hal ini syara melarang pencurian, dan
sangsi bagi pencuri adalah dengan potongan tangan sebagaimana firmannya;
“Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya”.
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hokum
yang mutlak haarus dicapai.o.eh karena itu seruan –seruan syara dalam hal ini
bersifat mutlaq dan pasti, serta hokum syara yang berlatar belakang pemenuhan
kebutuhan dharuri adalah wajib atau fardu. Sebaliknya larangan yang berkaitan
dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak, hokum yang ditimbulkannya termasuk
haram dzati.
III.
PENUTUP.
Syariat islamiyah adalah syariat ketuhanan, allah yang maha mengetahui
persoalan hambanya yang membentuk syariat tersebut. Ia mengetahui segala hal
yang batin sebagai mana ia mengetahui yang lahir. Ia meletakan sesuatu pada
tempatnya , mengetahui obat yang dijadikanNya dan tak mungkin tersalah dalam
penetapan-penetapanNya.[3]
Kebutuhan tingkat primer atau dalam ushul fiqih disebut tingkatan dharuri
adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna
kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut. lima hal yang harus dijaga yang ada pada
manusia sebagai cirri atau kelengkapan kehidupan manusia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment