PENYAKIT DAN PEMBINAAN JIWA

Posted by Unknown On Tuesday, 8 November 2011 0 comments


I.            Pendahuluan

Ada beberapahal yang mendorong kami menulis tema ini. Salah satu diantaranya adalah udcapan yang sering kita dengar dari sebagian orang ataupu dari mereka yang menderita penyakit. Dari ucapan mereka, seolah-olah mereka mengingkari adanya hikmah-hikmah Allah dibalik ujian penyakitnya. Bahkan mereka bertanya-tanya,” mengapa Allah menciptakan penyakit, atau” mengapa Engkau tega melakukannya Wahai Tuhanku ? ” selain itu meraka mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa yang menunjukkan sikap pengingkaran atas hikmah-hikmah Allah.

 

II. Pembahasan

Sesunggunya, sakit dan keimanan memiliki hubungan erat. Ketika sakit, manusia merasa lemah dan tidak berdaya. Ini bisa membuatnya berfikir dan menimbulkan kekhawatiran,kalau-kalau ia meninggal dalam keadaan kafir. Sewaktu skit, manusia menyadari bahwa ada kekuatan diatas dirinya yang mampu menglahkannya, yakni mikroba, mahluk kecil yang tidak ada bandingannya dialam materi. Hal-hal inilah yang ahirnya mendorong manusia untuk mencari perlindungan kepada Allah denga memasrahkan dirinya dan memohon pertolongan kepada-Nya.[1]

Akidah dapat mengurangi ketakutan manusia terhadap penyakit dengan menegaskan bahwa setiap badan pasti akan mengalami sakit.

Imam Ali a.s. berkata:
لاَيَنْبَغِي لِلْعَبْدِ أَنْ يَثِقَ بِخَصْلَتَيْنِ: الْعَافِيَةُ وِالْغِنَى، بَيْنَمَا تَرَاهُ مُعَافًى إِذْ سَقُمَ وَبَيْنَمَا تَرَاهُ غَنِيًّا إِذِ افْتَقَرَ
(Tidak sepatutnya bagi seorang hamba terlalu percaya kepada dua hal: kesehatan dan kekayaan. (Karena) di saat engkau melihatnya sehat, mungkin tiba-tiba ia sakit dan di saat engkau melihatnya kaya, mungkin tiba-tiba ia fakir).
Akidah juga menegaskan bahwa penyakit dapat menghilangkan dosa. Imam Sajjad a.s. berkata:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حُمَّ حُمًى وَاحِدَةً، تَنَاثَرَتِ الذُّنُوْبُ مِنْهُ كَوَرَقِ الشَّجَرِ
(Seorang mukmin ketika terserang penyakit panas satu kali, dosa-dosanya akan rontok darinya laksana rontoknya dedaunan yang kering).

Abu Abdillah a.s. berkata:
صُدَاعُ لَيْلَةٍ يَحُطُّ كُلَّ خَطِيْئَةٍ إِلاَّ الْكَبَائِرَ
(Sakit kepala satu malam akan membasmi setiap dosa, kecuali dosa besar).

Di samping segala keistimewaan penyakit yang telah disebutkan dalam hadis-hadis di atas, penyakit juga mendatangkan pahal yang besar bagi yang menderitanya. Hal ini dapat membantunya untuk menghadapi penyakit tersebut dengan tulus hati.
Berkenaan dengan hal di atas Rasulullah saww bersabda:
عَجِبْتُ مِنَ الْمُؤْمِنِ وَجَزَعَهُ مِنَ السُّقْمِ، وَلَوْعَلِمَ مَا لَهُ مِنَ السُّقْمِ مِنَ الثَّوَابِ، لأَحَبَّ أَنْ لاَيَزَالَ سَقِيْمًا حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
(Aku heran terhadap seorang mukmin yang mengaduh karena sakit. Seandainya ia tahu tentang pahala yang tersimpan dalam sebuah penyakit, niscaya ia mengharapkan untuk selalu sakit hingga ia berjumpa dengan Tuhannya).

Imam Ridha a.s. berkata:
اَلْمَرَضُ لِلْمُؤْمِنِ تَطْهِيْرٌ وِرَحْمَةٌ وِلِلْكَافِرِ تَعْذِيْبٌ وَلَعْنَةٌ، وَإِنَّ الْمَرَضَ لاَيَزَالُ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى لاَيَكُوْنَ عَلَيْهِ ذَنْبٌ
(Penyakit bagi orang mu’min adalah penyucian dan rahmat, sedangkan bagi orang kafir adalah siksaan dan laknat. Seorang mukmin akan selalu ditimpa penyakit sehingga dosa-dosanya sirna).
Kesimpulannya, Allah tidak menciptakan penyakit dengan sia-sia. Penyakit adalah satu sarana untuk menguji manusia demi mengetahui kesabarannya terhadap segala bencana. Oleh karena itu, Allah menguji para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan penyakit.
Nabi Ayyub a.s. - seperti yang telah kita ketahui bersama - mengalami penyakit di sekujur tubuhnya. Ibnul Atsir Ad-Dimasyqi menulis: “Tidak satupun anggota tubuhnya yang selamat kecuali hati dan lidahnya. Ia selalu berzikir kepada Allah dengan hati dan lidah itu. Meskipun demikian, ia sabar, tabah dan selalu mengingat Allah dalam setiap kesempatan; pagi, siang, sore dan malam. Penyakitnya berlangsung lama sehingga teman dan para sahabatnya menjauh darinya. Ia diusir dari negerinya, dan masyarakatnya tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Tidak seorang pun yang berbelas kasihan kepadanya, kecuali istrinya yang tahu balas budi terhadap segala kebaikannya di masa lalu. Semua itu hanya memperbesar kesabaran, ketabahan dan puji syukurnya (kepada Allah). Kesabaran Ayyub as ini telah menjadi peribahasa di kalangan masyarakat dunia”.
Dan hasil dari kesabaran dan ketabahannya itu, Allah mengembalikan semua kemuliaan dan kejayaan yang selama ini ia punyai kepadanya.
Akidah, di samping memerintahkan muslimin untuk bersabar menghadapi segala bentuk penyakit, ia juga menasehatinya untuk tidak mengeluh karena penyakit itu. Karena mengeluh itu berarti menuduh Allah atas segala qadla`-Nya. Begitu juga, mengaduh karena penyakit itu dapat merendahkan martabat manusia di mata manusia lain, dan ia akan dicela dan diejek karenanya.

Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:
كَانَ لِي فِيْمَا مَضَى أَخٌ فِي اللهِ، وَكَانَ يُعَظِّمُهُ فِي عَيْنَيَّ صِغَرُ الدُّنْيَا فِي عَيْنِهِ، وَكَانَ لاَيَشْكُوْ وَجَعًا إِلاَّ عِنْدَ بُرْئِهِ
(Dahulu kala aku mempunyai saudara yang agung di mataku karena remehnya dunia di matanya. Ia tidak pernah mengeluh tentang penyakit yang dideritanya kecuali ketika ia sembuh).[2]
Perlu diingat, ketika akidah ingin membasmi rasa takut dari diri manusia, ia juga menanamkan rasa takut kepada Allah semata, memperingatkannya untuk tidak bermaksiat kepada-Nya dan mengingatkan kepadanya siksa-Nya yang pedih. Karena rasa takut kepada Allah itu adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari segala rasa takut.
Alquran di sejumlah ayat menganjurkan manusia untuk selalu takut kepada Allah SWT. Allah berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku”.[3]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.[4]

Rasulullah saww bersabda:
مَا سَلَّطَ اللهُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلاَّ مَنْ خَافَهُ ابْنُ آدَمَ، وَلَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ لَمْ يَخَفْ إِلاَّ اللهَ مَا سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِ غَيْرَهُ ...
(Allah tidak akan menguasakan atas Bani Adam kecuali orang yang mereka takuti. Seandainya Bani Adam tidak takut kecuali kepada-Nya, Ia tidak akan  menguasakan orang lain atas mereka).

Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ خَوْفُ اللهِ عَنْ خَوْفِ النَّاسِ
(Beruntunglah orang yang lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada manusia).
Tentu saja takut kepada Allah ini memiliki efek pendidikan yang sangat penting bagi umat manusia.
 Berkenaan dengan hal ini Imam  Shadiq a.s. berkata:
مَنْ عَرَفَ اللهَ خَافَ اللهَ، وَمَنْ خَافَ اللهَ سَخَتْ نَفْسُهُ عَنِ الدُّنْيَا
(Barang siapa yang mengenal Allah, maka ia akan takut kepada-Nya, dan barang siapa yang takut kepada Allah, ia akan enggan kepada dunia).[5]
Di samping itu, rasa takut kepada Allah itu juga mempunyai efek-efek sosial yang dapat mendorong setiap individu untuk membantu orang lain.
Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari  yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam,  penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami”.[6]
Plato mengatakan bahwa kesulitan dapat memperbaiki jiwa yang bersangkutan sebanding dengan kehidupan yang dirusaknya. Begitu pula  kemewahan dapat merusak jiwa yang bersangkutan sebanding dengan kehidupan yang direbaiki.[7]

III. Kesimpulan
Akidah telah mampu membentuk jiwa yang shalih dan membuka cakrawala luas baginya dengan jalan membebaskannya dari segala rasa takut. Begitu juga akidah telah mampu menghubungkannya dengan Penciptanya, mengingatkannya akan segala nikmat-Nya dan mengingatkannya akan siksa-Nya yang pedih.
Jika pikiran seseorang bersandar pada penciptanya, niscaya dia akan mengetahui bahwa tidaklah Allah sekali-kali mengujinya melainkan dengan hal-hal yang pasti membawa pahal baginya ataau menghapuskan dosa darinya selain itu ia akan merasakan keuntungan yang berkesinambungan dari Allah dan faedah yang bertubi-tubi dari-Nya


[1] Dr. Zuhair Muhammad Azzamili, Mengapa Kita Sakit,2001, Pustaka Hidayah, Bandung. Hal 140
[2] Nahjul Balaghah : 526.
[3] Al-An’am 6 : 15.
[4] An-Nazi’at 79 : 40-41
[5] Ushulul Kafi, 2 : 68/4, Bab al-khauf war raja`.
[6] Al-Insan 76 : 8-10.
[7] Aidh bin Abdullah Al- Qorni, Lahtahzan, 2004, Irsad Baitussalam, Bandung hal 223

0 comments:

Post a Comment