MAQAMAT TASAWUF

Posted by Unknown On Tuesday 8 November 2011 0 comments


I.         PENDAHULUAN
Setiap pengembaraan dalam pencarian tuhan para suluk harus melewati Maqam-maqam tertentu, dan setiap Maqam tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang tak terhingga banyaknya, dalam setiap maqam, kadang-kadang salik terintang oleh hijab (tabir)yang besar. Dia harus melewatinya atau dia berhenti pada maqamnya. Bahkan kalau tidak mampu mempertahankannya, ia akan mengalami istidraj atau degradasi ruhani yang pasti akan mencelakakannya.

II.      PEMBAHASAN
Seperti yang telah kita ketahui, pengertian tasawuf saya simpulkan dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama tasawuf, terutama dari ungkapan Ali junaidi bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dan apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menegakan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada seluruh umat manusia, memegang tegiuh janji dengan allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh rasulullah dalam hal syariat[1]
Lingkup irfani itu tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara sepontanitas, tapi melalui proses yang panjang, proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan). Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan (Riadloh) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam ini berbeda-beda. Sebagian mereka merumuskan maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam Qonaah berikut ini: tanpa qanaah tawakal tidak akan tercapai: tanpa tawakal taslim tidak akan ada; tanpa taubat inabah tidak akan ada; tanpa wara’ zuhud tidak akan ada.
Sementara itu al-Qalabadzi dalam bukunya at-ta’aruf limadzah al-tasawuf menjadikan taubat sebagai kunci ketaatan , kemudian zuhud, sabar, faqr. Tawadhu, khauf, taqwa, ikhlas, syukur, ridho, yakin, dzikir, uns, qar dan mahabbah. Al-Qurasyi dalam bukunya Al-Risalah Al-qusairiah memberikan urutan sesuai maqam berikut: taubat, mujahadah, khalwat, uzlah, taqwa, wara’, zuhud, khauf, raja, qanaah, tawakal, syukur, sabar, murakabah, ridha, ikhlas, dzikir, faqr,mahabbah dan syauq.
Apa yang dirumuskan Al-Gazali lebih sedikit lagi,dia merumuskan maqam seperti berikut ini: taubat, sabar, syukur, khauf, raja, tawakal, mahabbah, ridho, ikhlas, muhasabah, dan muraqabah. Sementara itu, Asy-syukhrawardi dalam bukunya Al-awarif al-maarif merumuskan maqam sebagai berikut: taubat, wara, zuhud, sabar, faqr, syukur, khauf, tawakal, dan ridha.
Seperti yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa maqam-maqam yang dijalankan kaum umum terdiri atas: taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.

III.   PENJELASAN
  1. Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan menuju allah menurut Qamar kailani dalam bukunya fi al-tasawuf al-islami, yang dimaksud dengan taubat adalah rasa penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa sementara itu al-Gazali mengklasifikasikan taubat itu pada tiga tingkatan:
Ø  Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa allah.
Ø  Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut Inabah.
Ø  Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada allah hal ini disebut Aubah.
Pada tingkat rendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Sedangkan pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa seperti: dengki, sombong dan riya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan syaitan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkatan terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan fikiran dalam mengingat  allah. Taubat pada tingkatan ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan allah[2]

  1. Zuhud
Sesuai dengan pandangan sufi, bahwa nafsu duniawilah yang menjadi sumber-sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan allah. Dengan demikian, agar terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsu, manusia harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus juhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat. Mengenai batas pelepasan diri dari rasa ketergantungan itu para sufi berlainan pendapat. Al-Gazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi mengartikan juhud sebagai suatu sikap menerima rizki yang diterimanya. Al-Basri mengatakan bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular yang licin apabila di pegang, tetapi racunnya dapat menumbuh.
Kendatipun didepinisikan dengan redaksi yang berbeda inti dan tujuan zuhud adalah sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia  harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di akhirat ilahi.

3. Faqr (Faqir)
Al-Faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi . hal ini karena sikap faqr dapat menghindarkan seseorang dari keserakahan. Dengaan demikian pada prinsipnya sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan faaqr hanya sekedar pendisiplinan dari dalam dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Sikap faqr dapat memunculkan sikap waara’, yaitu sikap yang menurut para sufi adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas  masalahnya. Apabila bertemu dengan suatu persoalan, baik yang bersifat materi maupun non materi  yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya, lebih baik dihindari atau dihindarkan.

4. Sabar
Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan pendiriannya tidak berubah bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah, sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (Iradah) tuhan.
Menurut Al-Gazali, sabar dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (Ash-Shabar An-Nafs), Sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (Ash-Shabar Al-Badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk  menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.

5. Syukur
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan kita miliki didunia adalah berkat karunia allah. Allahlah yang telah memberikan nikmat pada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya.

6. Rela (Ridho)
Ridho berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugrahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan zat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasa sakit atas cobaan tersebut.
      Hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah yng mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintaiya. Menurut Abdul Halim Mahmud, ridho mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan  Rasulnya. Namun, sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai allah.

7. Tawakal
      Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada allah[3] . Dalam hal ini, Al-Gazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.


IV.   PENUTUP
Demikianlah pembahasan singkat tentang Maqam yaitu jalan (Tariqat) menuju allah yang di mulai dengan latihan-latihan rohani (Riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase dan berakhir dengan mengenal (Marifat) kepada allah, dan tingkat ma’rifat menjadi jargon yang umum dikejar oleh para sufi
Selain maqam ada yang dinamakan Hal, yang diantara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dalam makalah ini, saya hanya dapat membahas satu topik, mungkin kita dapat membahasnya dalam kesempatan lain, kurang lebihnya saya mohon ma’af bila terdapat banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini.


[1] Anwar, Rasuhon. Mukhtar solihin, 2000, Ilmu Tasawuf , bandung, CV Pustaka setia Hal. 13-14
[2] Al-Gazali, Ihya Ulum Ad-Din,  Jilid IV, hal 10-11
[3] Al-Gazali, Ibid, Hal. 322

0 comments:

Post a Comment