I.
PENDAHULUAN
Setiap
pengembaraan dalam pencarian tuhan para suluk harus melewati Maqam-maqam
tertentu, dan setiap Maqam tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang tak
terhingga banyaknya, dalam setiap maqam, kadang-kadang salik terintang
oleh hijab (tabir)yang besar. Dia harus melewatinya atau dia berhenti
pada maqamnya. Bahkan kalau tidak mampu mempertahankannya, ia akan mengalami istidraj
atau degradasi ruhani yang pasti akan mencelakakannya.
II.
PEMBAHASAN
Seperti yang
telah kita ketahui, pengertian tasawuf saya simpulkan dari beberapa definisi
yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama tasawuf, terutama dari ungkapan Ali
junaidi bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dan apa yang mengganggu
perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menegakan pengaruh budi yang asal
(instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi
segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian dan
bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih
kekal, menaburkan nasehat kepada seluruh umat manusia, memegang tegiuh janji
dengan allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh rasulullah dalam hal
syariat[1]
Lingkup irfani
itu tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara sepontanitas, tapi melalui
proses yang panjang, proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan). Yang
dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba
dihadapan-Nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan (Riadloh) jiwa yang
dilakukannya. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam ini berbeda-beda. Sebagian
mereka merumuskan maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam Qonaah
berikut ini: tanpa qanaah tawakal tidak akan tercapai: tanpa tawakal
taslim tidak akan ada; tanpa taubat inabah tidak akan ada; tanpa wara’ zuhud
tidak akan ada.
Sementara itu al-Qalabadzi
dalam bukunya at-ta’aruf limadzah al-tasawuf menjadikan taubat sebagai
kunci ketaatan , kemudian zuhud, sabar, faqr. Tawadhu, khauf, taqwa, ikhlas,
syukur, ridho, yakin, dzikir, uns, qar dan mahabbah. Al-Qurasyi dalam
bukunya Al-Risalah Al-qusairiah memberikan urutan sesuai maqam berikut:
taubat, mujahadah, khalwat, uzlah, taqwa, wara’, zuhud, khauf, raja, qanaah,
tawakal, syukur, sabar, murakabah, ridha, ikhlas, dzikir, faqr,mahabbah dan
syauq.
Apa yang
dirumuskan Al-Gazali lebih sedikit lagi,dia merumuskan maqam seperti
berikut ini: taubat, sabar, syukur, khauf, raja, tawakal, mahabbah, ridho,
ikhlas, muhasabah, dan muraqabah. Sementara itu, Asy-syukhrawardi dalam
bukunya Al-awarif al-maarif merumuskan maqam sebagai berikut: taubat,
wara, zuhud, sabar, faqr, syukur, khauf, tawakal, dan ridha.
Seperti yang
telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa maqam-maqam yang dijalankan
kaum umum terdiri atas: taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.
III.
PENJELASAN
- Taubat
Kebanyakan
sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan menuju allah menurut Qamar
kailani dalam bukunya fi al-tasawuf al-islami, yang dimaksud dengan
taubat adalah rasa penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai
permohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan
dosa sementara itu al-Gazali mengklasifikasikan taubat itu pada tiga
tingkatan:
Ø
Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih
pada kebaikan karena takut kepada siksa allah.
Ø
Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi
yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut Inabah.
Ø
Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena
ketaatan dan kecintaan kepada allah hal ini disebut Aubah.
Pada tingkat
rendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan.
Sedangkan pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad
taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa seperti: dengki, sombong dan riya.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan
syaitan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkatan terakhir,
taubat berarti penyesalan atas kelengahan fikiran dalam mengingat allah. Taubat pada tingkatan ini adalah penolakan
terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan allah[2]
- Zuhud
Sesuai dengan
pandangan sufi, bahwa nafsu duniawilah yang menjadi sumber-sumber kerusakan
moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan
kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati
kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan allah.
Dengan demikian, agar terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsu, manusia
harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus juhud terhadap dunia, yaitu
meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
Telah terjadi
pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun, secara umum zuhud
dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan
terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat. Mengenai
batas pelepasan diri dari rasa ketergantungan itu para sufi berlainan pendapat.
Al-Gazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia
untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi
mengartikan juhud sebagai suatu sikap menerima rizki yang diterimanya. Al-Basri
mengatakan bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak
ubahnya seperti ular yang licin apabila di pegang, tetapi racunnya dapat
menumbuh.
Kendatipun
didepinisikan dengan redaksi yang berbeda inti dan tujuan zuhud adalah
sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan
dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan sampai kenikmatan duniawi
menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu
kebahagiaan yang abadi di akhirat ilahi.
3. Faqr (Faqir)
Al-Faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat
dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi . hal ini karena sikap faqr dapat
menghindarkan seseorang dari keserakahan. Dengaan demikian pada prinsipnya
sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud
lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan faaqr hanya sekedar
pendisiplinan dari dalam dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Sikap faqr
dapat memunculkan sikap waara’, yaitu sikap yang menurut para sufi
adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang
jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan
suatu persoalan, baik yang bersifat materi maupun non materi yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas
asal usulnya, lebih baik dihindari atau dihindarkan.
4. Sabar
Salah satu
sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan
sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.
Jiwanya tidak tergoyahkan pendiriannya tidak berubah bagaimanapun beratnya
tantangan yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah, sikap sabar dilandasi
oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (Iradah)
tuhan.
Menurut
Al-Gazali, sabar dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah,
dinamakan sebagai kesabaran jiwa (Ash-Shabar An-Nafs), Sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (Ash-Shabar Al-Badani).
Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
5. Syukur
Syukur
diperlukan karena semua yang kita lakukan dan kita miliki didunia adalah berkat
karunia allah. Allahlah yang telah memberikan nikmat pada kita, baik berupa
pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya.
6. Rela (Ridho)
Ridho berarti
menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugrahkan Allah SWT. Orang yang
rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan allah dan
tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya. Bahkan, ia mampu melihat
keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan zat yang memberikan cobaan kepadanya
sehingga tidak mengeluh dan tidak merasa sakit atas cobaan tersebut.
Hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah
yng mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian
sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintaiya. Menurut Abdul
Halim Mahmud, ridho mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai
apa yang dicintai Allah dan Rasulnya.
Namun, sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan
cara apapun yang disukai allah.
7. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati
dalam menggantungkan diri hanya kepada allah[3] . Dalam hal ini, Al-Gazali
mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi
sebagai landasan tawakal.
IV.
PENUTUP
Demikianlah
pembahasan singkat tentang Maqam yaitu jalan (Tariqat) menuju allah yang
di mulai dengan latihan-latihan rohani (Riyadhah), lalu secara bertahap
menempuh berbagai fase dan berakhir dengan mengenal (Marifat) kepada
allah, dan tingkat ma’rifat menjadi jargon yang umum dikejar oleh para sufi
Selain maqam
ada yang dinamakan Hal, yang diantara keduanya tidak dapat
dipisahkan, tetapi dalam makalah ini, saya hanya dapat membahas satu topik,
mungkin kita dapat membahasnya dalam kesempatan lain, kurang lebihnya saya
mohon ma’af bila terdapat banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment